Salah satu kegiatan Bidang Kerjasama dan Pengabdian Kepada Masyarakat Pusat Studi Jepang UNS pada bulan Agustus 2013 adalah Pelatihan Origami dan PAUD di beberapa SD di Surakarta dan Salatiga. Kegiatan tersebut melibatkan Instruktur dari Jepang, Ibu Gejima Hamako, yang memiliki sertifikat mengajar recreation activities dari National Recreation of Japan (日本レクリエーション協会). Beberapa sekolah yang terlibat adalah SD Islam Internasional Abidin, SD 1 Palur, dan SD Muhammadiyah Salatiga. Sementara guru-guru TK yang mengikuti workshop PAUD juga sekaligus origami adalah Guru TK se-Gugus Banjarsari Surakarta, dan para guru TK di Kota Salatiga.
Kata “origami” yang dalam huruf Jepang ditulis sebagai 折り紙 , merupakan perpaduan kata “oru” ( 折る) dan “kami” (紙). Kata “oru” adalah bentuk kata kerja, sehingga ketika bertemu dengan kata benda, akhiran “u” berubah menjadi “i”. Sedangkan kata “kami” adalah kata benda yang kalau digabungkan dengan kata lain sebagai kata yang kedua, awalan “k” berubah menjadi “g”. Kata “oru” berarti melipat, sedangkan kata “kami” berarti kertas.
Seni melipat kertas tidak sekedar membentuk aneka benda melalui lipatan-lipatan kertas, tetapi banyak pelajaran yang bisa diperoleh. Barangkali menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa seni melipat kertas berkembang di Jepang, dan bahkan menjadi budaya, dan mengapa tidak di negara lain?
Kapan origami mulai diperkenalkan di Jepang, tidak jelas tanggal dan tahunnya, tetapi banyak tulisan yang menyampaikan bahwa seni ini muncul setelah cara membuat kertas diintroduksikan dari Cina ke daratan Jepang pada awal abad ke-7. Lalu siapa yang pertama kali mengembangkan seni ini di Jepang? Dugaan terkuat adalah para samurai yang membawa kehidupan yang teratur dalam masyarakat Jepang. Jika kita memahami konsep bushido, maka kita bisa mengamini hal ini, karena bushido mengajarkan pada prinsip-prinsip atau kode etik yang harus dipatuhi oleh samurai sebagai tangan kanan shogun, dan sebagai “teladan” dalam masyarakat Jepang pada masa Edo. Ketika itu, kasta tertinggi dalam masyarakat Jepang adalah para samurai.
Samurai melipat kertas untuk tujuan formal, misalnya ketika mengirimkan surat, menyampaikan uang yang ditaruh dalam lipatan kertas, memberikan bingkisan kepada shogun yang dibungkus dengan kain yang dilipat sangat unik, bahkan dompetpun terbuat dari lipatan kertas. Pada masa itu, mereka menggunakan kertas “washi” (和紙) yang terbuat dari beberapa tanaman berserat Jepang, seperti kozo, gampi, mitsumata, dan hemp (selengkapnya baca di sini). Washi adalah kertas tradisional Jepang yang sangat unik, karena kelenturan dan kekuatannya (tidak mudah robek).
Lalu mengapa origami berkembang dalam masyarakat Jepang? Saya kira sama dengan budaya lain di Jepang yang berakar dari kalangan samurai, seperti harakiri, hanami (melihat sakura), kasta di bawah samurai pada masa itu ingin sejajar dengan kaum samurai, sehingga mereka berusaha meniru gaya hidup samurai. Alasan lain, barangkali karena keunikan seni melipat kertas yang berkembang pada masa itu.
Bentuk origami yang paling meluas pada masa Edo adalah bentuk burung bangau (tsuru) dan perahu. Bentuk burung bangau memiliki nilai religius, karena dipercaya oleh orang Jepang sebagai simbolik persembahan kepada dewa-dewa untuk meminta kesembuhan terhadap penyakit tertentu. Oleh karena itu, sampai sekarang pun, ketika menengok orang sakit, atau terjadi bencana, orang Jepang dari semua kalangan akan membuat tsuru. Semakin banyak tsuru yang dibuat, diyakini akan semakin mendekatkan mereka pada perkenaan Dewa.Hal yang sama dapat penulis lihat ketika terjadi tsunami di Aceh, dan gempa di Yogyakarta, banyak anak-anak SD di Jepang yang mengirimkan origami bangau ke Indonesia. Ini adalah salah satu bentuk kepedulian dan empati mereka terhadap bangsa kita.
Bagaimana dengan pembelajaran origami di sekolah di Jepang?
Origami sebagai alat/media pembelajaran baru diperkenalkan pada masa Meiji (1868-1912), terutama di TK dan SD. Perlu diketahui bahwa sama dengan Indonesia, pendidikan anak usia dini di Jepang pada masa itu banyak dipengaruhi oleh Friedrich Wilhelm August Fröbel, seorang pendidik dari Jerman yang memperkenalkan sistem TK ke banyak negara, termasuk salah satunya yang dibawa ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda (baca tentang Frobel Onderwijs di Indonesia). Frobel telah memperkenalkan seni melipat kertas di sekolah-sekolah di Eropa. Diduga, apa yang diajarkan di sekolah-sekolah Jepang pada masa Meiji, bersumber dari seni melipat kertas Eropa.
Pada masa Taishou (1912-1926), origami tidak terlalu banyak diajarkan di sekolah karena dianggap menghambat kreativitas dan originalitas, yang pada waktu itu menjadi karakter pendidikan Jepang. Origami, terutama menyusun bentuk yang rumit dianggap harus mengikuti aturan dan petunjuk yang detil, sehingga menghambat kekreatifan siswa. Tetapi, pada masa selanjutnya origami kembali digiatkan di sekolah.
Dalam kegiatan melipat kertas, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi para pendidik di sekolah. Mengajari anak origami sebenarnya tidak sekedar mengajarinya yang susah dan bagus. Tetapi origami untuk level anak-anak sebaiknya bertujuan untuk membuat benda yang dapat dipakai bermain atau alat bermain. Oleh karena itu mengajarinya membuat origami yang rumit seperti bunga, rumah, orang, hewan tidaklah perlu jikalau itu tidak dapat dipakai untuk bermain. Anak-anak di TK dan SD kelas rendah sesuai dengan perkembangan motoriknya yang memerlukan banyak bermain dan berinteraksi dengan alam, hendaknya diajari origami sederhana, seperti kupu-kupu yang dapat diterbangkan, pesawat terbang, baling-baling, paruh burung. Biasanya di Jepang mereka diajari memainkannya sambil bernyanyi.
Origami yang rumit yang bertujuan untuk dekoratif dan keindahan seni kurang tepat diajarkan kepada anak-anak usia dini. Tetapi akan sangat menarik dan bermanfaat jika diajarkan kepada remaja dan orang dewasa.
Dalam mempelajari origami, yang dilatihkan tidak saja keterampilan atau motorik anak, tetapi yang utama adalah ketekunan, ketelitian, kesabaran, dan kemandirian. Yang terakhir sangat nyata perbedaannya antara anak-anak di Indonesia dan di Jepang. Berdasarkan pengalaman penulis, dan apa yang disampaikan oleh Ibu Gejima Hamako, anak-anak di Indonesia dalam proses membuat origami ketika dibimbing, acapkali bertanya kepada guru/instruktur. Bahkan pada lipatan yang sederhana, sebelum mencobanya, mereka lebih suka bertanya dan minta dibuatkan.
Kemandirian untuk menyelesaikan tugas tanpa bantuan orang lain, dan rasa bangga ketika hasil kerja kita memenuhi kriteria, belum nampak, dan masih perlu dilatihkan kepada anak-anak kita di Indonesia. Dalam hal ini bentuk pelatihannya adalah pembiasaan untuk mendengarkan dengan cermat penjelasan guru, mengikuti step by step instruksi pembuatan, bekerja dengan tangan dan bukan dengan mulut, dan duduk diam serius mengerjakan (tidak berjalan-jalan). Konfirmasi kepada instruktur dapat dilakukan setelah tahapan melipat dilakukan, dan ada ketidakbisaan pada tahapan tersebut.
Demikianlah, sebenarnya sangat sederhana, tetapi origami membawa dampak yang besar pada perkembangan psikis dan afektif anak. Oleh karenanya tidak ada ruginya mempelajari dan mengajarkannya, dan alangkah baiknya jika guru-guru di pendidikan usia dini dan dasar berusaha menciptakan model yang khas daerah/lokal Indonesia.
Sumber bacaan : The History of Origami in Japan